Sebuah kuburan massal yang diduga berisi ribuan jenazah telah ditemukan di luar ibu kota Suriah, Damaskus. Hal ini menjadi bukti kekejaman rezim Bashar Al Assad yang disinyalir melakukan eksekusi terhadap ribuan musuh politiknya. Pemerintah sementara yang baru berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban atas kekejaman yang dilakukan oleh rezim Bashar al-Assad yang telah digulingkan. Berdasarkan laporan dari Al Jazeera, situs di al-Qutayfah, yang berjarak 40 km di utara ibu kota, merupakan salah satu dari beberapa kuburan massal yang telah diidentifikasi setelah kejatuhan pemerintahan keluarga al-Assad yang telah berkuasa selama puluhan tahun. Selain itu, dua belas kuburan massal juga ditemukan di Suriah selatan. Di salah satu lokasi, 22 mayat, termasuk wanita dan anak-anak, menunjukkan tanda-tanda eksekusi dan penyiksaan.
Al-Assad dan ayahnya Hafez, yang sebelumnya menjabat sebagai presiden dan meninggal pada tahun 2000, dituduh melakukan pembunuhan massal melalui tindakan di luar hukum, termasuk dalam sistem penjara yang kejam di negara tersebut. Seorang profesor studi genosida, Ugur Umit Ungor dari Universitas Amsterdam, menyatakan bahwa penemuan “kuburan massal terpusat” di al-Qutayfah mencerminkan kekejaman rezim Assad. Ungor juga menekankan pentingnya penanganan kuburan massal dengan profesional untuk menghindari penjarahan yang dapat merusak bukti-bukti penting.
Menurut Ungor, pendirian tempat penyimpanan DNA keluarga yang memiliki anggota keluarga yang hilang dapat membantu dalam proses identifikasi jenazah dan memberikan kepastian kepada keluarga yang masih mencari orang yang mereka cintai. Sebagai bagian dari penyelidikan terhadap lokasi pemakaman tersebut, Ungor menerima video dan bukti lainnya dari sumber anonim selama setahun terakhir. Mohammed Vall dari Al Jazeera melaporkan bahwa intelijen angkatan udara Suriah diduga bertanggung jawab atas pemindahan jenazah dari rumah sakit ke kuburan massal setelah dibunuh di penjara.
Kuburan massal ini dianggap sebagai simbol dari 54 tahun kekuasaan despotisme, penyiksaan, dan kediktatoran yang telah terjadi di Suriah. Human Rights Watch telah meminta otoritas transisi Suriah untuk menjaga bukti fisik di seluruh negeri guna memastikan keadilan bagi korban kekejaman rezim Assad. Panglima tertinggi pemerintahan baru, Ahmed al-Sharaa, menegaskan bahwa pelaku kejahatan terhadap rakyat Suriah akan diadili, termasuk mereka yang membantu al-Assad dalam melancarkan kekejaman tersebut.
Al-Sharaa juga meminta bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga internasional lainnya untuk mendokumentasikan kejahatan yang dilakukan oleh rezim Assad. Sementara itu, al-Assad sendiri mengeluarkan pernyataan pertamanya sejak digulingkan, dengan menyebut para pemimpin baru Suriah sebagai “teroris” dan mengklaim telah melarikan diri ke Rusia. Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dipimpin oleh Al-Sharaa telah dianggap sebagai kelompok “teroris” oleh banyak negara.
Kelompok ini berkomitmen untuk meredakan ketakutan, memberikan perlindungan bagi kaum minoritas, serta memastikan keamanan dan transisi politik yang damai di Suriah. Situasi ini menunjukkan bahwa upaya untuk membawa keadilan bagi korban kekejaman rezim Assad masih memerlukan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak.