Israel dan Amerika Serikat sedang mempertimbangkan rencana bersama untuk menggunakan perusahaan tentara bayaran dari Amerika-Israel untuk mengatur Gaza. Tentara bayaran di Gaza bahkan sudah mulai bekerja dengan melakukan pemeriksaan biometrik terhadap warga Palestina dan mengancam untuk menahan bantuan kemanusiaan. Menurut laporan media, AS dan Israel berencana untuk menjalankan program percontohan di desa Al-Atatra di Gaza barat laut yang melibatkan 1.000 tentara bayaran swasta untuk menciptakan “komunitas berpagar” di Jalur Gaza. Mereka akan mengendalikan penduduk dan pergerakan mereka menggunakan teknologi biometrik.
Rencana ini melibatkan Pasukan Pendudukan Israel membersihkan pejuang Perlawanan Palestina dan operasi Hamas dari daerah tersebut. Kemudian, tentara bayaran akan mendirikan tembok pemisah di sekitar lingkungan tersebut, memaksa penduduknya untuk masuk dan keluar hanya melalui identifikasi biometrik. Kepatuhan terhadap sistem ini akan menentukan akses terhadap bantuan kemanusiaan, dengan mereka yang menolak biometrik akan terputus dari menerima bantuan vital.
Perusahaan keamanan swasta yang terlibat dalam rencana ini adalah Global Development Company (GDC), yang disebut sebagai “Uber untuk zona perang”. Dimiliki oleh Mordechai Kahana, seorang pengusaha Israel-Amerika, perusahaan ini melibatkan mantan perwira tinggi militer Israel dan anggota militer serta intelijen Amerika. GDC menyatakan bahwa mereka telah mengembangkan strategi untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan secara aman kepada warga sipil di Gaza.
Meskipun rencana ini telah disetujui oleh pemerintahan Biden dan Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, Jake Sullivan, otorisasi resmi dari pemerintah AS dan Israel masih diperlukan agar rencana ini dapat dilaksanakan. GDC tampaknya juga memerlukan persetujuan dari Senat AS untuk menawarkan layanan bersenjata kepada pemerintah Israel.
Israel juga tampaknya akan menyetujui rencana ini, dengan kabinet perangnya yang telah membahas proposal tersebut. Mereka siap untuk mengesahkan program percontohan ini dalam dua bulan ke depan. Namun, rencana ini masih menuai kontroversi dan kekhawatiran dari beberapa pihak yang mengkhawatirkan dampaknya terhadap hak asasi manusia dan kebebasan individu di Gaza.
Dalam situasi yang semakin kompleks di Timur Tengah, langkah-langkah seperti ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati dan memperhatikan implikasinya terhadap kehidupan manusia. Semoga solusi damai dapat ditemukan untuk mengakhiri konflik yang telah berkecamuk di Gaza selama bertahun-tahun.